Transaksional Politik
![]() |
| Sumber: Google |
Money Politik hadir karena pragmatisme masyarakat.
Bila dianalogikan dalam mikro ekonomi, maka sebagai berikut:
Teritorial (RT/RW/Dusun/Desa/Kecamatan) adalah pasarnya. Masyarakat adalah penjualnya. Suara masyarakat sebagai produknya. Timses adalah tengkulak/pengepulnya. Kandidat sebagai konsumennya.
Politik transaksional telah menjadi budaya demokrasi saat ini. Sebagai konsumen, tentu harus membayar atas produk yang mereka beli. Agar produk selalu tersedia, tengkulak melakukan strategi 'jemput bola'. Tentu, tengkulak akan menawarkan harga menarik kepada produsen. Supaya, produknya bisa dijual kembali oleh si tengkulak. Setelah tengkulak menjual kepada konsumen, dan konsumen membayar atas produk yang dibeli, maka konsumen berhak memanfaatkan produk yang telah dibayarnya.
![]() |
| Sumber: Google |
Jika politik transaksional masih mewarnai pesta demokrasi kita, maka kecil harapan mendapatkan pemimpin yang merakyat. Pragmatisme telah mengakar di masyarakat. Banyak orang yang memiliki kapabilitas dan kapasitas enggan maju dalam kontestasi 'KB 1' sebab tingginya cost political (biaya politik). Akibatnya, ruang ini tertutup bagi mereka yang memiliki keterbatasan dana. Maka dari itu, tak heran bila latar belakang para kandidat didominasi oleh pengusaha. Sebab, pesta demokrasi menjadi gelanggang lelang kekuasaan.
Secara sadar, hal tersebut telah mencederai demokrasi. Karena pada akhirnya 'kalau mereka terpilih pun kita masih noreh juga- Kalau mereka duduk mana bah memperhatikan kita- mau mereka terpilih atau ndak kita tetap jak makan ikan asin sama daun ubi tumbuk' menjadi mindset yang kokoh di masyarakat.
Lalu, apakah perlu adanya pemulihan pola dan bentuk pasar perpolitikan kita ?



Komentar
Posting Komentar